Sabtu, 28 Januari 2012

CP (RICO)

Biarawan Pasionis hadir di Indonesia sejak tahun 1946: sudah 65 tahun!


NAMA RESMI "KONGREGASI SENGSARA YESUS KRISTUS" DAN SINGKATANNYA "CP"
DIDIRIKAN ST. PAULUS DARI SALIB (1694-1775) TAHUN 1720 DAN PARA BIARAWAN DISEBUT "PASIONIS"


Sto. Paulus dari Salib
St. Paulus dari Salib mengumpulkan rekan-rekannya untuk hidup bersama dan memaklumkan Injil Kristus kepada umat manusia. Dia menyelidiki dengan tajam kejahatan-kejahatan sezaman dan dengan tegas memaklumkan bahwa Sengsara Yesus, karya terbesar dan agung cinta kasih ilahi, adalah obatnya yang mujarab. Dengan kekuatan Salib, kebijaksanaan Allah itu, para Biarawan Pasionis berusaha mengalahkan penyebab penderitaan manusia. Maka perutusan mereka diarahkan kepada pewartaan melalui pelayanan Sabda Salib agar semua orang dapat mengenal Kristus dan kuasa kebangkitanNya. Dengan mengambil bagian pada Penderitaan Kristus setiap orang dapat menjadi serupa dengan Dia dalam KematianNya, supaya memperoleh KemuliaanNya. Para Biarawan Pasionis, Imam maupun Bruder, mengambil bagian pada kerasulan itu menurut bakat, kemampuan dan tugas masing-masing
BERITA KINI
P. Matius Sanding CP meninggal dunia di Pontianak pada tgl. 22 Januari  2011. Tgl. lahir: 3 Juli 1969


Pontianak, tgl. 12-16 Januari 2011: Kapitel II Provinsi Pasionis Indonesia memilih Dewan Pimpinan Baru


Jakarta,  19-10-2010: Perayaan St. Paulus dari Salib bersama dengan Uskup Agung Jakarta


Untuk perkenalan lebih lanjut dengan Kongregasi Pasionis, semangat maupun kegiatannya di seluruh dunia, Anda klik CP Internet
Get Flash !
Blog kita: WISDOM OF THE CROSS - klik di sini 

Biarawan Pasionis berkarya di Indonesia sejak tahun 1946. Yang pertama datang dari Belanda. Tahun 1961 Biarawan Pasionis Belanda mulai didampingi oleh Biarawan Pasionis Italia. Mereka semua melangsungkan karya misionaris serta pastoral di Kalimantan Barat, Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Sanggau, di mana sekarang telah terbentuk dua Gereja Lokal, yaitu Keuskupan Ketapang (1961) dan Keuskupan Sanggau (1982). Sejak permulaan, Biarawan Pasionis yang datang ke Indonesia sebanyak 56 orang, yaitu 29 dari Belanda, 27 dari Italia; yang masih tinggal hanya 9 orang. Namun benih yang telah mereka taburkan sudah mulai berbuah banyak:
saat ini Imam pribumi 73 orang, Frater 26 orang, Bruder pribumi 17 orang, Novis 6 orang, Postulan 7orang. Dan pada tgl. 21 Januari 2007 kehadiran Pasionis di Indonesia dinyatakan secara resmi Provinsi yang ke-25 dalam Kongregasi


Pimpinan Tertinggi di Indonesia disebut Superior Provinsial:
Jl. Patra Tomang II/24A Tomang Barat/Tanjung Duren - Jakarta Barat 11510
Tel. 021/5658037 - Fax 021/5662509.

Mereka yang merasa berminat dan masih mencari jalan hidup dapat menghubungi
Promotor Panggilan yang bertempat tinggal di rumah Superior Provinsial.


Di pulau Jawa ada Biara Novisiat "St. Gabriel dari Bunda Dukacita":
Jl. Pangl. Sudirman 80 - Batu 65311 - Jatim
Tel 0341/591460 - Fax 0341/511867.


Di kota Malang ada Seminari Tinggi "Beato Pio Campidelli":
Jl. Raya Pandan Landung, Kecamatan Wagir - Malang 65158 - Jatim
Tel 0341/562436 - Fax 0341/562437.


Selain Biarawan Pasionis, di Indonesia hadir juga Biarawati Pasionis:
Rubiah (kontemplatif) dan Suster (aktif).



"Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawaNya untuk kita; jadi kitapun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita"
(1 Yoh 3:16)

SMM (YOSEP)

“My feet were on the point of stumbling
a little more and I had slipped…
Even so, I stayed in your presence,
you grasped me by the right hand;
you will guide me with advice.” (Psalms 73:23-24)
“Lord, that is all very well, but I feel so fragile!”
What is strange about feeling fragile when one wants to become a child? The great, the wise and the knowledgeable are sure of themselves. Their artificial solidity makes them vulnerable: they do not see their own weakness. Their pride brings them down: they seek to save themselves by their own powers, as foolishly as someone who is shipwrecked and pulls out his hair so as not to sink.
A child is fragile. It is weak in abilities, but strong in confidence. Being fragile, it has the solidity of its faith. It is the child that is the strongest one.
The one who has no need of another person is inevitably brought up against his own powerlessness, and can see no one else, apart from himself, who can get him out of his closed world, which inexorably becomes a vicious circle. For him, God is beyond his reach because of a lack of hands stretched out.
A child knows very well that he cannot survive without the other. His strength lies in confidence, and in the humility of hands stretched out to indicate his need, to take hold and to be taken hold of.
God allows himself to be taken hold of, and he takes hold. The child is saved! He has had the simplicity to cry out, without asking himself how that cry is to come forth.
“Lord, that is all very well, but I feel so fragile!” It is true, Lord! But you are my Father, and my prayer would still better express the confidence of the child if I were to say: “Everything is fine, BECAUSE I feel so fragile!”
The one who is wise according to the World denies and tries to hide his fragility. This denial of an essential aspect of his being ends by bringing about his destruction. The one who is wise in God’s way finds in his fragility the strength which will allow him to grow and overcome his limitations, by leaving room for the action of God himself: “It is when I am weak that I am strong” (2 Corinthians 12:10).
In the concrete circumstances of my life, do I see my fragility as a brake or rather as a springboard? If I look only at myself, with my limitations and my sad and ambiguous experiences, I will try to hide within my fragility. I will allow myself no more risks, I will be resigned to my own littleness without really recognising it. Centred on myself, I will remain forever small in the most negative sense of the word, on both the human and the spiritual plane. “No-one is an island.” As long as I try to live while hiding my fragility, or as if I were delivered from it, I am finished, forever seated in the departure lounge, and with no future.
What is the solution? It is the other option: to recognise my fragility as a part of myself, and own it; to turn my gaze outside of myself to recognise out there the one who can walk with me, who can make me grow, who can help me to take risks in circumstances where I would never dare to do so by myself.
Whether it be on the human plane or the spiritual plane, this turning my gaze outside of myself is a grace. A friend or another person to whom I dare to entrust myself, can help me. If it is to God that I admit my fragility, if it is to Him that I abandon myself, that will be the greatest grace of my life. Recognition of my own fragility will have brought about confidence, that essential virtue for getting me to go beyond my limitations and, letting myself be taken by the hand, I will be able to make progress in the realisation of my own being.
For Montfort, God charged Mary, the “worker of his wonders” (TD 28), with taking our hands to guide us towards liberty.
Recognising myself as small and fragile: that is foolishness in the eyes of the World, which prefers to go it alone and get nowhere.
Recognising myself as small and fragile, and choosing in all humility and simplicity the way of dependence as the way to liberty: that is the Wisdom of the Son of God, who chose to depend in all things on Mary when he came among us (cf. TD 18). Who on earth could be greater than the Lord himself (cf. Mt 10,24) and bypass a Mother? A Mother who is so happy to see us accepting our condition as brothers and sisters of Jesus, that it is “out of gratitude” that she adopts us and moulds us in his image.
“This devotion makes the soul truly free by imbuing it with the liberty of the children of God. Since we lower ourselves willingly to a state of slavery out of love for Mary, our dear Mother, she out of gratitude opens wide our hearts enabling us to walk with giant strides in the way of God’s commandments” (SM 41).
POINTS FOR REFLECTION
  • In the concrete circumstances of my life, do I see my fragility as a brake or rather as a springboard?
  • Do I find within myself weaknesses that I prefer to ignore? Weak points that I believe I can cure by my own powers? What does my own experience teach me regarding my fragility and my weaknesses?
  • Am I really convinced that I am called to spiritual childlikeness?
  • When I speak of confidence and abandonment, do I feel a call to take greater risks in this way?
Have a good fortnight!
Jean-Louis Courchesne, s.m.m.

KARMEL (KARLO)

1. Mengapa Karmelit berjubah coklat?
Warna coklat adalah warna tanah, warna hina-dina. Warna coklat kemudian identik dengan warna pertobatan. Para Karmelit mengenakan jubah coklat dengan maksud hendak hidup bertobat terus menerus, sederhana, rendah hati, dan bekerja keras.

2. Apa arti lambang Karmel?
Bagian hitam/coklat yang menjulang adalah lambang Gunung Karmel, tempat para Karmelit berasal. Dua bintang yang melayang adalah lambang hidup kontemplasi. Bintang putih di tengah gunung adalah lambang hidup aksi. Mahkota adalah lambang Maria, Bunda para Karmelit. Tangan dan pedang bernyala adalah lambang Elia, inspirator Ordo. Pita dengan motto Karmel berbahasa Latin berarti: “Aku bekerja segiat-giatnya bagi Tuhan Allah semesta alam.”

3. Siapa pendiri Ordo Karmel?

Ordo Karmel itu unik karena pendirinya bukan satu orang saja seperti banyak ordo atau serikat yang lain. Para pendiri Ordo adalah para pertapa yang membentuk hidup bersama di Gunung Karmel sekitar tahun 1200-an. Saudara B. Yang pada waktu itu menjadi yang dituakan di antara mereka.

4. Dimana Gunung Karmel itu?
Gunung Karmel bukan berada di Indonesia, melainkan di Israel. Letaknya yang dekat Laut Tengah membuatnya terkenal karena keindahannya. Karena itu Ordo Karmel adalah satu-satunya Ordo yang berasal dari tanah suci.

5. Apakah Ordo Karmel itu Ordo Kontemplatif seperti Trapis?
Mula-mula memang para Karmelit hidup sebagai pertapa, namun karena terdesak oleh keadaan mereka mengubah cara hidup mereka menjadi ordo mendikan, yang bergaya hidup kontemplatif aktif (vita mixta): tetap mempunyai irama hidup ketat sebagai biarawan, namun juga boleh berkarya di dunia ramai. Jadi para Karmelit tidak melulu hidup kontemplatif di dalam biara seperti para Trapis.

6. Apa beda Karmelit dengan Fransiskan? Perbedaan mencolok tidak ada, karena sama-sama berjubah coklat. Hanya saja para Fransiskan lebih menekankan spiritualitas hidup miskin, sedangkan para Karmelit lebih memberi penekanan pada aspek kontemplasi dan doa.

7. Apakah ada Pertapaan Karmel itu?
Ya, ada. Pertapaan ini adalah tempat bagi para Karmelit yang hendak hidup kontemplatif ketat seperti para pendahulunya. Hidup bertapa diijinkan dan diberi tempat, jika ada alasan yang kuat.

8. Apakah Karmelit identik dengan karismatik?
Kalau karismatik yang dimaksud adalah gerakan pembaharuan karismatik dan kalau disebut identik atau sama persis, jawabannya adalah tidak. Kalau yang dimaksud dengan kharismatik adalah hidup yang dipimpin oleh Roh Kudus, jawabannya adalah ya, karena peranan Roh Kudus itu mutlak dalam hidup seorang Karmelit. Namun jika ditanya adakah biarawan Karmelit yang aktif dalam gerakan pembaharuan kharismatik katolik, jawabannya adalah ya, ada.

9. Apakah skapulir itu?

Skapulir adalah kain panjang yang dikenakan menutupi bagian depan dan belakang pemakainya dan bergantung pada tulang scapula (pundak). Skapulir adalah lambang salib Kristus, jadi memakai skapulir berarti mau memanggul salib Kristus. Skapulir yang dipakai para Karmelit adalah skapulir coklat, sesuai dengan warna jubahnya. Menurut tradisi, Bunda Marialah yang memberikan skapulir ini sebagai pakaian resmi Ordo Karmel pada St. Simon Stock.

10. Apakah Keluarga Karmel (Familia Carmelitana) itu?
Familia Carmelitana adalah serikat-serikat baik aktif maupun kontemplatif, religius maupun awam yang mengambil spiritualitas Karmel (O.Carm) sebagai gaya hidupnya. Contohnya: Ordo Carmelitarum Discalcearum (OCD), Hermanas Carmelitas (H.Carm), Tertius Ordininis Carmelitarum (TOC), Donum Dei, Putri Karmel (P.Karm), dan lain-lain.

OFM (WAHYU)

Fransiskus Asisi adalah seorang pecinta kemiskinan, bentara perdamaian, pendoa sejati yang riang gembira dan penyayang segala mahluk. Karena itu, banyak orang terpesona olehnya dan ingin bergabung dengan persaudaraan fransiskan (OFM).
Jika Anda merasa terpanggil dan terpana oleh semangat St. Fransiskus Asisi, untuk hidup dalam persaudaraan dan kesederhanaan, untuk melayani Tuhan dan sesama, maka jangan takut, jangan bimbang. Padamkan segala keraguan anda. Bersama kami, kita melangkah mengikuti jejak Tuhan kita Yesus Kristus seturut teladan suci Bapa Fransiskus
Bila Anda tertarik dan berminat untuk tumbuh dan berkembang bersama kami maka bergabunglah bersama kami dan bersama-sama kita penuhi bumi ini dengan Kabar Gembira Kristus.
Berikut ini adalah beberapa pertanyaan dan jawaban yang sering muncul ketika seseorang ingin mengenal dan ingin bergabung dengan Fransiskan.
Apakah Fransiskan hanya untuk orang-orang “suci”?
Tentu saja tidak. Saudara Fransiskan adalah manusia biasa yang berjuang sebagaimana orang lain untuk melakukan yang baik dan menjauhi yang jahat. Sebagaimana setiap manusia, seorang Fransiskan kadang-kadang juga berbuat kesalahan. Kita bisa melihat kembali hidup Fransiskus, khususnya pada tahun-tahun awal, pun setelah pertobatannya, dia masih hidup dalam kesalahan dan dosa. Saudara Fransiskan yang baik bukanlah seorang yang suci melainkan seorang yang terus berjuang untuk menjadi suci.
Apakah ada standar akademis tertentu untuk menjadi Fransiskan?
Jawaban singkatnya adalah ”tidak”. Tidak ada persyaratan titel akademis tertentu untuk bergabung dengan Persaudaraan. Secara sederhana, St. Fransiskus mengajar kami untuk mencari orang-orang berkehendak baik untuk menghayati cara hidup ini.
Akan tetapi, kami sadar bahwa dunia sekarang berkembang begitu pesat. Supaya kita bisa melayani dengan lebih baik, maka kita juga perlu mengikuti perkembangan dunia ini. Agar para saudara bisa mengikuti perkembangana zaman maka, selama masa formasio awal para saudara akan diutus untuk belajar. Supaya bisa menjalankan tugas perutusan belajar dengan baik maka para saudara juga perlu memiliki kecakapan dasar minimal setingkat SMA. Kami juga menganjurkan bagi anda yang masih kuliah supaya menyelesaikannya terlebih dahulu. Biar bagaimana pun bekal ilmu yang anda miliki akan sangat berguna untuk pelayanan nanti.
Jika seorang saudara ingin ditahbiskan menjadi imam, maka ia harus mengikuti pendidikan calon imam sebagaimana ditetapkan oleh uskup setempat. Ada syarat-syarat tuntutan akademis dan kemampuan lain yang diperlukan. Kurang lebih dibutuhkan waktu selama 8 – 10 tahun untuk ditahbiskan menjadi seorang saudara imam.
Berapa batasan umur untuk calon?
Sebagai patokan umum, seorang bisa menjadi calon Fransiskan kalau sudah lulus SMA dan berumur tidak lebih dari 35. Patokan umum ini dibuat karena calon yang usianya di atas 35 seringkali mengalamai kesulitan yang cukup besar untuk bisa beradaptasi dengan cara hidup yang memang berbeda ini. Akan tetapi terkadang juga terjadi bahwa orang yang sudah cukup umur dan memiliki pengalaman cukup matang, bisa menyesuaikan diri dengan cara hidup sebagai seorang Fransiskan. Karena itu, bisa kami katakan bahwa sebenarnya tidak ada batasan umum karena panggilan itu misteri yang tidak mengenal usia.
Apakah seorang Fransiskan harus menjadi Imam?
Jawabannya adalah tidak. St. Fransiskus sendiri bukanlah seorang imam. Satu di antara empat saudara tidak ditahbiskan menjadi imam. Panggilan yang digunakan di antara kami adalah Saudara. Ordo Saudara-saudara Dina adalah sebuah Persaudaraan dimana beberapa anggotanya adalah imam dan yang lain bukan imam (saudara bruder). Tidak ada pembedaan kelas di antara saudara, imam atau bruder. Ada saudara yang yakin bahwa ia dipanggil untuk pelayanan tertahbis, yang lain merasa dipanggil menjadi Saudara tetapi tidak dalam jajaran para klerus. Semua Saudara mempunyai prasetya (kaul religius) yang sama dan memeluk cara hidup yang sama sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar St. Fransiskus.
Berapa Lama Masa Pendidikannya?
Masa pendidikan ini kami sebut formation awal. Program formatio awal sama untuk semua calon, baik untuk mereka yang mempersiapkan diri untuk tahbisan atau pun tidak. Program ini berlangsung kurang lebih 8 tahun sebagai persiapan untuk kaul kekal. 1 tahun masa postulan, 1 tahun masa novisiat dan 6 tahun kaul sementara. Jika seorang saudara mempersiapkan diri untuk tahbisan imam maka ia akan melanjutkan dengan studi dan pelayanan pastoral selama kurang lebih 2 tahun setelah kaul kekal. Tidak sepanjang waktu tersebut diisi dengan studi. Waktu studi itu juga dipadukan dengan karya dan pengalaman pelayanan serta tanggungjawab untuk pertumbuhan dan perkembangan pribadi.
Berikut ini adalah bagan yang menggambarkan masa pendidikan seorang fransiskan.
bagan-ofm
Apa yang perlu saya lakukan untuk bergabung dengan Persaudaraan OFM?
Sederhana saja, tidak perlu mengisi blangko atau formulir pendaftaran, juga tidak seperti interview untuk melamar pekerjaan. Pertama-tama kami ingin mengenal anda dan kiranya baik kalau anda juga mengenal kami. Kami akan membantu anda untuk bisa menjalin kontak dengan salah satu saudara kami. Kemudian, anda bisa bertemu dengan saudara kami tersebut untuk berbicara tentang keinginan anda secara lebih detail. Anda juga bisa tinggal 2 atau 3 hari di salah satu komunitas kami untuk mencicipi kehidupan harian kami. Kami akan menjaga kontak dengan anda, memberi bahan-bahan bacaan dan juga mendampingi anda sampai pada proses mengajukan lamaran untuk bergabung dengan kami.
Pertanyaan lain?
Mungkin masih ada pertanyaan-pertanyaan lain yang ingin anda sampaikan. Jangan ragu-ragu untuk menyampaikan pertanyaan anda. Kirimkan pertanyaan anda melalui link ”Kirim Pesan” dan yakinlah kami akan segera menanggapinya.

DIOSESAN (GALUH DAN BRYAN)

PERKENALAN,kami adalah calon-calon Imam Diosesan, yang dikenal dengan sebutan Imam Projo. Apa sih sebenarnya "Imam Projo" (Imam Diosis) itu? Manakah ciri khas yang melekat padanya,yang membedakannya dari Imam SVD,MSF,OMI dan lain-lain? Bila Anda berminat? Baiklah berikut akan diuraikan secara singkat tentang siapa dan apa itu Imam Diosis.

A. IMAM DIOSIS ATAU IMAM PROJO

Gereja dalam suatu wilayah Keuskupan dipimpin oleh Bapak Uskup. Uskup adalah penganti Para Rasul,yang menjadi pimpinan tunggal dalam penggembalaan umat setempat. Uskup menjalankan tugas kegembalaannya dibantu oleh para Imam.

Di Indonesia sejak abad 18 yang bekerja dalam karya Gereja adalah Imam-imam pendatang dari luar negri (Misinaris)yang tergabung dalam ikatan Ordo atau Tarekat atau Kongregasi. Mereka bukan orang-orangnya Uskup,bukan bawaannya Uskup secara langsung. Mereka adalah orang-orang Ordo/Tarekat/membantu uskup setempat. Uskup setiap kali harus meminta kepada Kepal Ordo/Tarekat/Kongregasi,apakah mereka bersedia mengutus anggotanya untuk membantunya. Jika tidak diberikan atau tenaga yang telah diutus ditarik kembali maka Uskup tidak bisa berbuat apa-apa.

Seiring dengan berkembangnya Gereja di Indonesia maka muncullah imam-imam pribumi yang ingin mempersembahkan hidupnya untuk Gereja,ada yang mendaftarkan diri secara langsung kepada Uskup untuk menjadi pekerja milik keuskupan.

Itulah sebabnya mereka disebut Imam Diosis (Imam Keuskupan) Mereka juga ditugaskan dalam karya Paroki. Imam Diosis juga berkecimpung dalam karya sosial,pendidikan,kepemudaan,pembinaan rohani,penyuluh pertanian, dosen,wartawan,pastor tentara,pemimpin retret,pastor pramuka, ketua yayasan pendidikan,dll. Pendek kata bekerja dibidang-bidang yang juga merupakan tugas dan tanggungjawab Uskup.

B. PENDIDIKAN IMAM PROJO DI INDONESIA

Tahun 1936, Mgr. Willekens, Vikaris Apostolik Batavia (Jakarta), berpendapat bila Gereja mau berakar kuat di Indonesia, perlulah dibentuk pasukan imam-imam asli (pribumi).
Tanggal 15 Agustus 1936 dibuka Seminari Tinggi Projo Indonesia pertama di Muntilan. Dalam perkembangannya Seminari ini berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Baru sepuluh tahun kemudian mempunyai rumah yang tetap,yakni dipinggit Kali Code. Dalam waktu 15 tahun rumah tersebut tidak mampu menampung penghuni yang semakin banyak. Sejak tahun 1968, Seminari Agung Santo Paulus,Keuskupan Agung Semarang menempati gedung baru di Kentungan, 6 km di utara Yogyakarta. Di sinilah para calon imam baik dari pulau Jawa maupun luar Jawa mengembangkan dirinya untuk menjadi seorang imam.

Tahun 1977, atas prakarsa Uskup Surabaya,Malang dan Denpasar, didirikan Seminari Tinggi Projo "Giovanni" di Malang.

SEMINARI SANTO YOSEF

Pada awalnya bernama St. Yosef, dengan makna : Mendidik seminaris yang mau bekerja keras,tekun dan taat dalam bimbingan Tuhan sebagaimana Santo Yosef. Tanggal 21 Mei 1938, wilayah Misi MSF di Kalimantan yang meliputi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur dipisahkan dari Vikariat Apostoliknya (Pontianak) dan dijadikan Prefektur Apostolik Banjarmasin,dan tanggal 19 Oktober 1938 Peter Jac Kusters MSF diangkat menjadi Prefek Banjarmasin.

Program kerja Pater Jac Kusters MSF meliputi 3 hal :

  1. Perbaikan dibidang sosial,berhubung adanya pergeseran pada bidang adat dan kebiasaa pada kebiasaan pada masyarakat sebagai suku setempat.
  2. Mengintensifkan karya pastoral,supaya khususnya permasalahan hidup perkawinan dapatditangani secara lebih baik.
  3. Mengusahakan adanya konsolidasi dibidang pendidikan dan pengajaran,kareba adanyapembukaan sekolah-sekolah dan pertumbuhannya yang terlalu cepat,baik sekolah yangdidirikan oleh Pemerintah maupun pihak Gereja.

Tanggal 12 Juli 1950, Mgr. J. Groen MSF,Vikaris Apostolik Banjarmasin,mendirikan Seminari Menengah dengan nama pelindung St. Yosef Pekerja. Hal ini dimaksudkan untuk mencetak tenaga pastoral yang taat,tekun, bekerja keras serta setia pada karya dan rencana Allah.

Setelah empat tahun berjalan, ternyata banyak peminatnya,sehingga tahun 1954 Seminari St. Yosef ini dipindahkan ke Sanga-sanga,kira-kira 10 Km arah ke laut, dari Kota Samarinda Kalimantan Timur.
Seminari St. Yosef Sanga-sanga direncanakan akan menjadi Seminari Menengah Regional bagi Vikariat Banjarmasin dan Samarinda.

Tahun 1956 diadakan konferensi Vikaris seluruh Kalimantan, salah satu keputusannya adalah mengirim 3 kelas ke Seminari Nyarungkop-Pontianak hal ini dilakukan karena di Seminari Sanga-sanga kekurangan tenaga pengajar.
Tanggal 27 Juni 1959 Seminari Menengah St. Yosef Sanga-sanga di tutup. Kelas yang ada dipindahkan ke Seminari Nyarungkop Pontianak-Kalimantan Barat, hanya Kelas Persiapan Atas (KPA) tetap tinggal di Kalimantan Timur. Kemudian KPA ini dipindahkan ke Desa Tering, kira-kira 500 Km dari Samarinda.
SEMINARI St. YOHANES DON BOSCO SAMARINDA

Tahun 1961, Seminari Menengah dibuka kembali di Samarinda. Para Siswa Seminari selama tiga tahun pertama mengikuti pelajaran SMP dab tiga tahun selanjutnya mengikuti pelajaran SMA. Di Seminari mereka mendapat pelajaran tambahan Bahasa Latin dan bidang-bidang pembinaan agama.
Cara pengajaran seperti ini dapat berlangsung dengan baik karena pada tahun 1959 telah dibuka SMP Katolik di Samarinda. Selanjutnya tahun 1963 SMA Katolik pun dibuka,sehingga siswa Seminari Menengah yang berbeda di Nyarugkop-Pontianak dipindahkan kembali ke samarinda. Beberapa tahun kemudian Vikariat Banjarmsin juga mengirim siswa Seminarinya ke Samarinda.

Tahun 1971,Seminari St. Yosef diintegrsikan dengan Asrama St.Yohanes Don Bosco, sebuah asrama untuk pelajar Putra Non Seminaris yang didirikan tahun 1956. Semenjak penggabungan itu nama Seminari St. Yosef berubah menjadi "Asrama Seminari St. Yohanes Don Bosco. Pada tahun 1993, penggabungan ini dirombak, para Seminaris dipisahkan dengan yang non Seminaris. Para Seminaris pindah ke Gedung Seminari Don Bosco di jalan Pasundan 78, hingga sekarang

Persyaratan Masuk Imam Diosesan

Untuk mendaftar menjadi calon Imam Projo ikutilah ketentuan sebagai berikut
    1. Pria sehat rohani dan jasmani
    2. Tidak terikat tali perkawinan
    3. Sudah dibaptis
    4. Hidup Katolik yang baik
    5. Lulusan SMU/SMK/Seminari Menengah/Sudah kerja/Postulat
    6. Bercita-cita jadi Imam yang membaktikan diri untuk Gereja setempat
    7. Mendapat restu orang tua
    8. Lulus test masuk Seminari
    9. Bersedia mengiktuti peraturan yang telah ditentukan

ANDA BERMINAT?

Silahkan menghubungi kami pada alamat berikut ini:

  • Seminari Tinggi Giovani
Jl. Terusan Bendungan Sigura-Gura Barat 2 Post code 12 Malang 65112
  • Tahun Rohani. Jl. Sumber Wuni No. 14 Lawang 65126
  • Seminari Menengah St.Yohanes Don Bosco Keuskupan Agung Samarinda
Jl.Pasundan No.78 RT.19.RW.07 Kelurahan Jawa
Telp. (0541) 742268, Mobile. 081346267263. Email : indropr@yahoo.com
Samarinda-Kalimantan Timur.